BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial,ras, etnis,agama,dan gender.
Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup(life skills)sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.
Menteri Pendidikan Nasional sebagai penanggung jawab sistem pendidikan nasional bertekad mewujudkan cita-cita luhur tersebut dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN)Tahun 2010-2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional(RPJPN)Tahun 2005-2025.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Sisdiknas amat mendasar dalam memberikan landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan,seperti filosofi pendidikan nasional berdasarkan filsafat Pancasila, paradigma pendidikan dan pemberdayaan manusia seutuhnya, paradigma pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik, paradigma pendidikan untuk semua yang inklusif, dan Paradigma Pendidikan untuk Perkembangan, Pengembangan,dan/atau Pembangunan Berkelanjutan (PuP3B atau Education for Sustainable Development).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut banyak masalah yang perlu untuk diidentifikasi lebih lanjut berkaitan dengan landasan filosofis pendidikan,diantaranya:
: Apakah pendidikan itu ?
: Apakah landasan filosofis pendidikan itu ?
: Apakah landasan filosofis pendidikan itu mempengaruhi terhadap karakter bangsa ?
: Bagaimanakah karakter bangsa yang sudah mengaplikasikan nilai dari landasan filosofis pendidikan ?
: Apakah hal ini berhubungan dengan program pendidikan berkarakter ?
: Karakter yang seperti apakah yang perlu diterapkan oleh seorang pendidik guna menciptakan peserta didik yang berkarakter sesuai dengan landasan filosofis pendididkan ?
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Dari sekian permasalahan yang ada tidak mungkin penulis dapat membahasnya secara keseluruhan,karena mengingat kemampuan yang ada baik intelektual,biaya,dan waktu yang dimiliki penulis sangat terbatas.Maka penulis perlu memberikan batasan-batasan masalah.Pembatasan masalah diperlukan untuk memperjelas permasalahan yang ingin dipecahkan.Oleh karena itu,penulis memberikan batasan sebagai berikut:Bagaimanakah pengaruh landasan filosofi pendidikan terhadap pembentukan karakter bangsa serta bagaimanakah pengaruhnya terhadap perkembangan bangsa dan negara.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Landasan Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instink-nya,sedangkan manusia belajar merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakal anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya,begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi,para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan dosen.
Pandangan klasik tentang pendidikan,pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus.Pertama,mempersiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang.Kedua,mentransfer pengetahuan ,sesuai dengan peranan yang diharapkan.Ketiga,mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.
Butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengertian bahwa pendidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value.Sedangkan landasan pendidikan sendiri merupakan salah salah satu bentuk kajian yang dikembangkan dalam berkaitannya dengan dunia pendidikan.
B. Pengertian Filsafat
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Ciri-ciri berfikir filosfi :
: Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.
: Berfikir secara sistematis.
: Menyusun suatu skema konsepsi, dan
: Menyeluruh.
Tiga persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :
: Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika
: Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.
: Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.
Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:
: Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
: Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
: Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.
: Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :
: Sebagai dasar dalam bertindak.
: Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
: Untuk mengurangi salah paham dan konflik.
: Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.
C. Pengertian Landasan Filosofi Pendidikan
Landasan filosofi pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan.Landasan filosofi bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan,menyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia,keyakinan tentang sumber nilai,hakekat pengetahuan,dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan.Aliran filosofi pendidikan yang kita kenal sampai saat ini adalah: Idealisme, Realisme, Parenialisme, Esensialisme, Pragmatisme, Progresivisme dan Ekstensialisme.
Beberapa aliran filsafat pendidikan :
: Filsafat pendidikan progresivisme,yang didukung oleh filsafat pragmatisme.
: Filsafat pendidikan esensialisme,yang didukung oleh idealisme dan realisme.
: Filsafat pendidikan parenialisme yang didukung oleh idealisme.
C.1. Pengertian Filsafat Pendidikan Idealisme :
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh,bukan materi,bukan fisik.Pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap.Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah,seperti apa yang dikatakan baik,benar,cantik,buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi.Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah : Plato, Elea, Hegel, Emanuel Kant, David Hume dan Al Ghazali.
C.2. Pengertian Filsafat Pendidikan Realisme :
Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis.Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohan.Realisme membagi realitas menjadi dua bagian yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.Beberapa tokoh yang beraliran realisme : Aristoteles, Johan Amos Comenius,William Mc Gucken, Francis BaconnJohn Locke, Galileo, David Hume and John Stuart Mill.
C.3. Pengertian Filsafat Pendidikan Parenialisme :
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.Parenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.Parenialisme memendang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, sosiokultual.Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kokoh, kuat dan teruji.Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah : Robert Maynard Hutchins dan Ortimer Adler.
Parenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini,jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji.Menurut parenialisme,kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya.Parenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual,sebab hakekat manusia adalah pada jiwanya,karena sesuatu yang dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.
C.4. Pengertian Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah.Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresiftelah merusak standard intelektual dan moral di antara kaum muda.Beberapa tokoh dalam aliran ini : William C Bagley, Thomas Briggs,Frederic Breed dan Isac L Kandell.
Esensialisme juga berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula.Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.
Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat bahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual.
C.5. Pengertian Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli.Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa ynag manusia alami.Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah : Charles Sandre Peirce, William James, John Dewey dan Heracleitos.
C.6. Pengertian Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri,melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang.Pendidikan harus terpusat pada anak bukanya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, William O Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B Thomas dan Frederic C Neff.
C.7. Pengertian Filsafat Pendidikan Ekstensialisme
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.Secara umum eksistensialisme menekankan pilihan kreatif,subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paulm Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel dan Paul Tillich.
D. Pengertian Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
E. Pentingnya Pendidikan Karakter Terhadap Pembentukan Bangsa
Bagaimana pendidikan karakter tersebut dilaksanakan tentunya itu harus terintegralisasi terhadap semua mata pelajaran yang ada,karena pendidikan karakter tidak pada tataran kognitif tetapi harus masuk pada wilayah sikap dan perilaku atau tindakan.Sehingga semua guru memiliki tanggung jawab yang sama dalam upaya membangun karakter siswa.Sangat tidak relevan apabila pendidikan karakter diangkat menjadi suatu mata pelajaran khusus dipersekolahkan.Hal itu selain akan membebankan terhadap siswa dengan bertambahnya mata pelajaran,juga dikhawatirkan pendidikan karakter akan terjebak ke arah penguasaan kognitif semata,sehingga tujuan dari pendidikan karakter tidak tercapai,seperti pengalaman peaksanaan P-4 ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada zaman orde baru.Namun untuk kepentingan metodological pedagogi,bagaimana membelajarkan karakter yang terintegralisasi terhadap mata pelajaran maka diperlukan pemahaman yang komprehensif dari semua calon guru semestinya menguasai model,metode dan teknik pembelajaran sesuai dengan mata pelajarannya dengan berbasiskan pengembangan karakter siswa.Untuk itulah di tingkat Lembaga Pendidikan Tinggi.Kependidikan yang akan menghasilakan tenaga-tenaga kependidikan dianggap penting memiliki mata kuliah pendidikan karakter atau Pembelajaran Pendidikan Karakter,berisi tentang selain pemahaman karakter apa yang dibangun juga memberikan keterampilan praktis bagaimana model,metode dan teknik pembelajaran karakter yang terintegralisasi dengan mata pelajaran masing-masing.
F. Pengaruh Pendidikan Karakter Terhadap Perkembangan Bangsa dan Negara
Saat ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter. Tetapi yang masih umum diterapkan mengenai pendidikan karakter ini masih pada taraf jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat jarang sekali. kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh aspek karakter ini, meskipun ada pelajaran pancasila, kewarganegaraan dan semisalnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran aplikatif. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera bangkit dari ketinggalannya, maka indonesia harus merombak istem pendidikan yang ada saat ini.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya sebenarnya apa sih dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.
Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia.
Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter).
Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).
Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).